Mulai 1 Agustus 2013, Blog Keuangan PTA Gorontalo beralih ke Portal Keuangan PTA Gorontalo | Untuk mengunjungi portal baru kami klik di sini |
https://paisleycarrot.files.wordpress.com/2012/03/website_moved.jpg?w=601&h=429&h=429

Rabu, 30 November 2011

Himbauan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Bagi Bendahara Pemerintah Pada Satuan Kerja Kementerian/Lembaga/Dinas/Instansi

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT

PENGUMUMAN
PENG- \12 /PJ.09/2011
TENTANG
HIMBAUAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BAGI BENDAHARA PEMERINTAH
PADA SATUAN KERJA KEMENTER1AN/LEMBAGA/D1NAS/INSTANSI

Bendahara pemerintah memiliki peran strategis dalam sistem administrasi perpajakan Indonesia dan berperan penting dalam mendukung terciptanya kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam rangka mendukung upaya peningkatan kepatuhan bendahara sebagai wajib pajak dan juga meningkatkan kepatuhan wajib pajak lainnya yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajiban bendahara, maka perlu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
  1. Mengingat tahun anggaran 2011 akan berakhir, kami menghimbau kepada bendahara pada satuan kerja di seluruh Kementerian/Lembaga/Dinas/lnstansi agar segera menyelesaikan kewajiban sebagai bendahara sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan sebagaimana tercantum dalam lampiran.
  2. Apabila menghadapi kendala atau masalah agar berkomunikasi dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di masing-masing satuan kerja untuk dapat dicarikan solusinya.
  3. Apabila mengalami kesulitan dalam memahami ketentuan perpajakan yang berlaku agar berkonsultasi dengan Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak tempat bendahara terdaftar/terdekat atau melalui Kring Pajak 500200.
  4. Kuasa Pengguna Anggaran agar mengawasi dan mengingatkan pemenuhan kewajiban perpajakan bendahara pada satuan kerja masing-masing.
  5. Jika membutuhkan bantuan buku perpajakan bagi bendahara, Saudara dapat menghubungi Direktorat P2Humas, Subdit Penyuluhan Perpajakan, telepon (021) 525- 0208; 525-1609 extension 51601, 51606.
Pengumuman ini hendaknya disebarluaskan.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2011
Direktur.
ttd
Dedi Rudaedi
NIP 195309231976101001



Selengkapnya (Surat dan Lampiran Surat) download di : http://www.pajak.go.id/sites/default/files/info-pajak/PENG-12.PJ09.2011-111122.pdf

Senin, 28 November 2011

Alokasi Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2012

Dewan Perwakilan Rakyat RI telah mengesahkan Undang-undang APBN Tahun Anggaran 2012 melalui Rapat Paripurna DPR RI tanggal 28 Oktober 2011. Menindaklanjuti pengesahan APBN 2012, Menteri Keuangan telah menetapkan Surat Edaran Nomor SE-01/MK.2/2011 tanggal 1 November 2011 tentang Alokasi Anggaran Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2012.

Dalam APBN 2012, Belanja Kementerian Negara/Lembaga (K/L) Tahun Anggaran 2012 adalah sebesar Rp508.359,57 miliar atau meningkat sebesar Rp31.749,40 miliar dari Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2012 sebesar Rp476.610,16 miliar.

Pagu anggaran tersebut sudah termasuk alokasi dalam rangka pencapaian target, sasaran, dan output program/kegiatan prioritas nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun Anggaran 2012.

Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL) 2012 beberapa kegiatan dibatasi diantaranya adalah pertemuan-pertemuan dinas, pemasangan telepon baru, pembangunan gedung kantor, rumah dinas, mess yang tidak terkait langsung dengan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu pengadaan kendaraan bermotor dan perjalanan dinas juga termasuk kegiatan yang dibatasi dalam tahun anggaran 2012.

Pemanfaatan dana optimalisasi adalah untuk kegiatan pendidikan diantaranya untuk penuntasan rehabilitasi gedung SD dan SMP yang rusak dan kegiatan penguatan pendidikan tinggi temasuk pendidikan vokasi.

Untuk optimalisasi dana non pendidikan diberikan pada kegiatan yang memperkuat pencapaian target dan sasaran prioritas pembangunan nasional dalam RPJM 2010-2014, RKP 2012, MP3EI serta 6 program utama dan 3 program prioritas Kluster IV serta kegiatan prioritas yang sudah dibahas dan disetujui dalam Trilateral Meeting, Sidang Kabinet atau Direktif Presiden yang belum dialokasikan dalam RAPBN Tahun Anggaran 2012.

Keputusan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (RABPP) akan ditetapkan paling lambat tanggal 30 November 2011.

Rincian Lengkap alokasi anggaran K/L 2012 (Surat Edaran Nomor SE-01/MK.2/2011) dapat didownload di sini)

Sumber : http://www.anggaran.depkeu.go.id

Kamis, 24 November 2011

SUPERVISI DI BAGIAN KEUANGAN, PENILAIAN DI MEJA INFORMASI


Kesibukan Staf Bagian Keuangan mempersiapkan data-data yang akan disupervisi
Gorontalo | pta-gorontalo.go.id (9/11)
PTA Gorontalo Dalam dua hari ini mendapat kunjugan dari Biro Keuangan Mahkamah Agung RI dan dari tim penilai meja informasi di Badan Peradilan Agama MA-RI. Kunjungan yang hampir bersamaan ini masing-masing ditugaskan untuk melihat dari dekat bagaimana kinerja dua lingkungan peradilan yang ada di Provinisi Gorontalo.
Menurut informasi yang dihimpun oleh Tim IT PTA Gorontalo melalui Kasubag Keuangan PTA Gorontalo Harsono P. Rahman, S.HI, bahwa supervisi kali ini meliputi pemeriksaan petugas PNBP baik untuk Buku Kas Umum (BKU) serta buku pembantu. Sedangkan untuk bendahara yakni kwitansi-kwitansi pertanggung jawaban maupun laporan pertanggung jawaban, Buku Kas Umum (BKU) bendahara pengeluaran serta buku kas lainnya.
Dalam pemeriksaan kali ini, Ibu Emmy Sapartiningrum, SE  beserta rombongan melaksanakan pemeriksaannya secara marathon. Diawali dari PT Gorontalo sesaat setelah kedatangannya pada Selasa sore tanggal 8 November 2011 di Provinsi Gorontalo, dilanjutkan di PTA Gorontalo pada malam harinya dan usai pemeriksaan di PTA Gorontalo, tim supervisi langsung bertolak ke ujung Provinsi Gorontalo untuk melakukan supervisi di PN Marisa pada esok paginya.
Disamping tim yang memeriksa masalah keuangan, hadir juga di Provinsi Gorontalo Bapak Rahmat Ariwijaya, S.Ag. M.Ag dan Zaenal Abidin, SE sebagai tim penilai meja informasi dari Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI. Tim ini sengaja di datangkan untuk melihat secara langsung bagaimana tampilan depan Pengadilan Agama di Provinsi Gorontalo yang dalam hal ini meja informasi.
Wawancara Tim Penilai Meja Informasi kepada Petugas Informasi
disaksikan oleh Wakil Panitera PTA Gorontalo
Ketua PTA Gorontalo Drs. H. M. Sunusi Khalid, SH. MH, yang menerima kunjungan ini di ruang kerjanya menyampaikan rasa terima kasih kepada Dirjen Badilag karena telah bersedia mendatangkan timnya untuk menilai bagaimana pelayanan meja informasi di wilayahnya.
“Di Provinsi Gorontalo hanya ada tiga PA dan PA Gorontalo Klas I yang berada di ibukota provinsi selayaknya telah menggunakan gedung yang telah prototype. Namun untuk sekarang ini PA Gorontalo hanya menempati gedung yang berukuran kurang lebih 300 M2 di atas tanah 567 M2. Maka untuk pelayanan meja informasi masih belum tertata sebagaimana yang diharapkan”, papar KPTA
“Lain halnya dengan PA Limboto, PA Limboto saat ini sedang dalam tahap renovasi gedung. Untuk saat ini proses pelayanan kepada pencari keadilan hanya menggunakan sisa-sisa gedung yang belum dibongkar. Jadi, untuk pelayanan meja informasi juga belum bisa dimaksimalkan”, tambahnya
“Untuk PA Tilamuta, saat ini gedungnya mengalami rehab total dan sementara ini meminjam gedung eks kantor Kejaksaan Negeri Tilamuta. Bila dilihat dari kondisi yang ada, sangat tidak memungkinkan untuk menyediakan tempat khusus untuk pelayanan meja informasi di tempat itu”, tutur KPTA
Ketiga kondisi ini dipaparkan oleh Ketua PTA Gorontalo kepada tim penilai meja informasi sebelum tim ini memulai tugasnya.
Dimulai dari meja informasi PTA Gorontalo, petugas penilai langsung melakukan wawancara kepada petugas informasi. Jumlah perkara, SOP Meja Informasi bahkan kendala-kendala yang dihadapi dalam memberikan informasi menjadi pertanyaan-pertanyaan yang disuguhkan kepada Mardiana Abubakar, S.HI selaku petugas informasi.
Disamping wawancara langsung dengan petugas informasi, tim penilai juga mengambil data sampel bagaimana pelayanan informasi di tempat ini serta mendokumentasikan penataan ruangan pelayanan meja informasi di PTA Gorontalo.
Usai melaksanakan tugas di PTA Gorontalo, tim penilai yang didampingi Kasubag Umum PTA Gorontalo Ismail Koniyo, S.HI melanjutkan tugasnya di Pengadilan Agama Gorontalo dan Pengadilan Agama Limboto. (Humas PTA Gorontalo) - http://www.pta-gorontalo.go.id

Jumat, 11 November 2011

Menyoal Ketidakpatuhan Kementerian/Lembaga tentang PNBP

I. Pendahuluan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP, didefinisikan sebagai seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. PNBP memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi penerimaan negara. Selama lima tahun terakhir (2006-2010) rata-rata kontribusi PNBP bagi penerimaan negara sekitar 30%.
Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) Migas dan Dividen merupakan PNBP pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) yang dikelola di bawah Kementerian Keuangan. Penerimaan SDA Non Migas terutama dikelola oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Kehutanan. Sementara itu, penerimaan PNBP Lainnya seperti penjualan aset, sewa aset, jasa, pendidikan, dan bunga pengelolaannya tersebar pada Kementerian/ Lembaga.
Berbeda dengan penerimaan pajak yang hanya dikelola oleh satu kementerian yaitu Kementerian Keuangan dalam hal ini dikelola oleh Ditjen Pajak, PNBP dikelola oleh banyak Kementerian atau Lembaga, terutama untuk penerimaan PNBP Lainnya. Saat ini, PNBP dikelola oleh lebih dari 3000 satker dengan jenis dari tarif PNBP sangat beragam yang jumlahnya lebih dari 15.000 jenis. Oleh karena itu, wajar apabila penertiban pengelolaan PNBP sesuai ketentuan yang berlaku bukanlah suatu pekerjaan yang mudah.
II. Temuan BPK terkait PNBP
Hasil pemeriksaan BPK dari tahun ke tahun menunjukkan temuan yang sama yaitu tingginya Pungutan Tanpa Dasar Hukum atau Terlambat Setor, dan belum ada kecenderungan turun. Berdasarkan pemeriksaan BPK atas pengelolaan PNBP pada Kementerian/Lembaga (K/L) dari tahun 2007 s.d 2009 menunjukkan temuan sebagai berikut :
1. Tahun 2007, terdapat 11 K/L dengan temuan berupa Pungutan Tanpa Dasar Hukum dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN dengan nilai temuan sebesar Rp286,41;
2. Tahun 2008, terdapat 10 K/L dengan temuan berupa PNBP Terlambat/Belum Disetor ke Kas Negara dengan nilai temuan sebesar Rp76,38 miliar; dan terdapat 11 K/L dengan temuan pungutan tanpa dasar hukum dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN dengan nilai sebesar Rp730,99 miliar;
3. Tahun 2009, terdapat 13 K/L dengan temuan berupa Pungutan Tanpa Dasar Hukum dan/atau dikelola di luar mekanisme APBN dengan temuan sebesar Rp186,47 milyar dan terdapat 18 K/L dengan temuan temuan PNBP Terlambat/Belum Disetor ke Kas Negara dengan nilai temuan Rp794,90 miliar.
Berdasarkan tabel temuan tersebut, apabila dibandingkan dengan total penerimaan PNBP tentu nilainya tidak begitu material karena berada dibawah kisaran 1% (sebagai contoh dalam LKPP TA 2009 Penerimaan PNBP mencapai Rp227.174,42 Milyar). Namun, yang mengkhawatirkan karena temuan tersebut dari tahun ke tahun justru cenderung meningkat, baik dari sisi jumlah K/L maupun nilai nominal yang menjadi temuan BPK.
Apakah Kementerian Keuangan selaku pembina PNBP diam saja sehingga temuan tersebut berulang. Tentu tidak, karena setiap tahun Kementerian Keuangan selalu melakukan sosialisasi mengenai pengelolaan PNBP kepada K/L pengelola PNBP, juga rapat-rapat koordinasi dengan K/L pengelola PNBP, bahkan secara khusus meminta BPKP untuk melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan PNBP K/L. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan apa yang salah dalam pengelolaan PNBP K/L, peraturan yang berlaku saat ini ataukah pengelola PNBP di K/L.
III. Penyebab terjadinya temuan
Berdasarkan jenis temuan BPK tersebut dapat dianalisis sebagai berikut :
a. Pungutan Tanpa Dasar Hukum
Sesuai Pasal 2 dan 3 UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP diatur bahwa Jenis PNBP dan Tarif atas Jenis PNBP harus ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP). Dari sisi kepastian hukum tentunya penetapan jenis dan tarif PNBP minimal dengan PP tersebut akan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan peraturan menteri, namun tidak dipungkiri proses pembentukan PP dimaksud sering membutuhkan waktu cukup panjang dan energi yang cukup besar serta biaya yang tidak sedikit.
Sebagai gambaran PP Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Dalam Negeri (PP No 71 Tahun 2009), Kementerian Kesehatan (PP No 13 Tahun 2009), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (PP No 41 Tahun 2010) membutuhkan waktu penyelesaian sekitar 2 tahun. Bahkan, untuk RPP Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Keuangan sendiri sudah lebih dari 3 tahun tetapi sampai dengan saat ini belum juga selesai. Beberapa Kementerian lain juga mengalami hal serupa seperti RPP Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM dan Kementerian Pekerjaan Umum. Meskipun ada juga yang bisa selesai lebih cepat seperti PP Jenis dan Tarif PNBP pada Badan Pertanahan Nasional (PP No 13 Tahun 2010) yang diselesaikan kurang dalam 1 tahun, tetapi perlu dicatat PP tersebut menjadi Program Prioritas dari Pemerintah (Program 100 Hari Presiden).
Waktu, energi, dan biaya yang cukup banyak dalam pembentukan PP tersebut pada gilirannya membuat keengganan bagi K/L untuk mengusulkan jenis PNBP baru atau mengusulkan perubahan atas jenis dan tarif yang dirasa sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Hal inilah yang pada akhirnya sering menyebabkan beberapa satker pengelola PNBP pada K/L melakukan pungutan PNBP tanpa dasar hukum yaitu dengan memungut jenis PNBP baru hanya dengan peraturan dibawah PP atau memungut jenis PNBP yang sebagaimana tercantum di PP namun dengan tarif tidak sesuai di PP.
Sebagai contoh kasus, berdasarkan PP No 47 Tahun 2004 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Agama, antara lain ditetapkan bahwa tarif untuk Nikah sebesar Rp 30.000. Namun banyak KUA yang tidak menerapkan tarif tersebut karena dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini (dirasa terlalu murah). Oleh karena itu, merebak di beberapa daerah munculah yang namanya tarif “nikah bedolan” yang bisa diartikan sebagai biaya tambahan untuk transportasi dan uang lelah untuk penghulu/pembantu penghulu yang menikahkan pasangan pengantin di luar kantor dan biasanya di luar hari kerja, dengan besaran tarif bervariasi, bahkan di kota Bandung ada yang tarifnya hingga Rp 500.000.
Selain itu, PP juga dipandang kurang mampu mengakomodir adanya jenis PNBP yang tarifnya memiliki karakter khusus seperti tarif mudah berubah dan tarif dalam bentuk kontrak. Sebagai contoh kasus, PP Nomor 13 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Departemen Kesehatan, yang mengatur sekitar 500 jenis dan tarif PNBP, ditetapkan tanggal 16 Januari 2009, tetapi Kementerian Kesehatan pada tanggal 13 Juli 2010 telah mengusulkan kembali perubahan atas PP dimaksud mengingat banyak jenis tarifnya yang mempunyai karakter mudah berubah, seperti tarif jasa pengujian laboratorium yang besaran tarifnya sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku (bahan kimia) yang digunakan untuk pengujian, dimana harga bahan kimia tersebut sangat fluktuatif.
Melihat permasalahan tersebut di atas, maka waktu untuk penyelesaian PP jelas menjadi salah satu kunci permasalahan. Dengan demikian, sepenuhnya menyalahkan Kementerian/Lembaga sebagai biang permasalahan pungutan tanpa dasar hukum menjadi tidak fair. Tentunya, hal tersebut juga tidak bisa dijadikan pembenaran bagi Kementerian/Lembaga untuk tidak menunda atau menempatkan jenis dan tarif PNBP pada PP, mengingat ketentuan yang masih berlaku saat ini menetapkan bahwa jenis dan tarif PNBP minimal harus dengan PP. Namun demikian, perlu dilakukan kajian mengenai pendelegasian wewenang penetapan jenis dan tarif PNBP kepada peraturan yang lebih rendah seperti peraturan menteri sebagai alternatif solusi atas permasalahan di atas.
b. PNBP dikelola di luar APBN (Penggunaan Langsung)
Sesuai Pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang PNBP antara lain diatur bahwa seluruh PNBP wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara dan dikelola dalam sistem APBN. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Pasal 3 Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN dan dipertegas dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, penerimaan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.
Tiga undang-undang tersebut di atas secara tegas melarang K/L menggunakan langsung penerimaan negara untuk membiayai kegiatan operasionalnya, namun mengapa masih banyak K/L pengelola PNBP yang berani melanggar 3 undang-undang tersebut. Hal ini tentunya perlu analisis lebih dalam terhadap temuan BPK tersebut.
Dari temuan BPK berupa penggunaan langsung tersebut sebagian besar merupakan penggunaan langsung dari penerimaan sewa ruangan atau gedung. Seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan langsung penerimaan sewa Wisma Karya Jasa Ciloto atau Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menggunakan langsung penerimaan dari Pengelolaan guest house. Penerimaan sewa tersebut antara lain untuk membiayai pembayaran listrik, gaji karyawan, pemeliharaan gedung dan bangunan serta untuk kesejahteraan anggota. Selain itu, terjadi juga terhadap penggunaan langsung terhadap penerimaan jasa penelitian, seperti di Kementerian ESDM yang menggunakan langsung terhadap penerimaan jasa Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Teknologi Mineral dan Batubara.
Dari kasus di atas, tentunya permasalahan alokasi dana yang cukup menjadi kunci penting untuk penyelesaian masalah tersebut. Namun, hal tersebut mengapa bisa terjadi pada PNBP yang menerapkan earmarking, dimana penerimaan bisa digunakan kembali oleh Satker penghasil PNBP setelah tentunya terlebih dahulu harus disetor ke Kas Negara. Setelah diteliti, ternyata earmarking hanya diterapkan untuk penerimaan PNBP fungsional, sementara untuk penerimaan sewa yang merupakan penerimaan bersifat umum tidak bisa di-earmark atau digunakan kembali oleh K/L penghasil PNBP.
Faktor lainnya penyebab penggunaan langsung adalah adanya pembatasan waktu pengajuan revisi anggaran hanya sampai dengan pertengahan bulan Oktober. Ketentuan ini membuat dilema bagi Kementerian/Lembaga khususnya pada saat ada permintaan pelayanan di bulan November dan Desember. Dilema terjadi mengingat pelayanan dimaksud harus tetap diberikan sedangkan di sisi lain hal ini akan mengakibatkan adanya kelebihan realisasi penerimaan PNBP tetapi biaya pelayanan tidak bisa dicairkan mengingat DIPA sudah tidak bisa dilakukan revisi lagi. Untuk mengatasi hal ini, sebagian satuan kerja mengambil jalan pintas menggunakan secara langsung seluruh penerimaan untuk membiayai kegiatan pelayanan dimaksud, dimana jalan pintas ini tidak sesuai dengan ketentuan dan pada akhirnya menjadi temuan oleh aparat pengawas fungsional (BPK).
(Sumber: Majalah Warta Anggaran Edisi 21 Tahun 2011, Penulis Supriyadi & Wahyu Indrawan)


Kamis, 10 November 2011

Tahapan Pembangunan Sistem Aplikasi Tingkat Instansi (SAKTI)

Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) tidak akan berjalan secara optimal tanpa ada dukungan dan masukan data yang valid dan benar dari satker. Untuk itu, sejak triwulan kedua tahun 2009 dimulailah pembahasan untuk membangun suatu sistem di satker (Sistem Aplikasi Tingkat Instansi/SAKTI - red) yang terintegrasi sesuai dengan proses bisnis SPAN. Nantinya, interaksi satker dengan SPAN hanyalah melalui aplikasi SAKTI yang digunakannya. Awal Mei 2009 itulah merupakan titik awal dimulainya pembangunan SAKTI.  Pembangunannya dilakukan melalui beberapa tahapan pengembangan, yaitu (1) Studi Kelayakan, (2) Analisis Kebutuhan, (3) Desain Aplikasi, (4) Pembangunan Aplikasi, dan (5) Pelaksanaan.
(1) Studi Kelayakan (Mei 2009 sd April 2010)
Studi kelayakan ini dimulai dengan melakukan pengumpulan seluruh aplikasi yang ada di satker guna dianalisis terkait dengan implementasi SPAN. Ketika itu disepakati untuk melakukan integrasi terhadap seluruh aplikasi dan database pada satker. Selanjutnya, dilakukan suatu pembahasan untuk pemilihan metode pengembangan sistem. Sebagai hasilnya, disepakati bahwa pelaksanaan pengembangan sistem dilakukan secara outsourcing dengan menggunakan bahasa pemrograman java dan database postgreSQL. Terakhir dilakukan pula survei ke beberapa satker dalam rangka memotret sarana dan prasarana yang dimiliki satker. Kesimpulannya adalah tetap dikembangkannya aplikasi satker yang berbasis desktop mengingat tidak semua satker memiliki jaringan internet yang bagus.
(2) Analisis Kebutuhan (Januari 2010 sd Desember 2010)
Langkah pertama yang diambil pada tahap ini adalah memotret kebutuhan dan proses bisnis yang diharapkan pihak Bussiness Owner dengan melakukan rapat pembahasan secara marathon dengan pihak-pihak dilingkup DJPBN dan DJA. Selanjutnya untuk memastikan komitmen bersama dibentuklah Tim Penyempurnaan Aplikasi Satker dalam rangka mendukung SPAN.
(3) Desain Aplikasi (Mei 2010 sd Maret 2011)
Untuk menghasilkan desain aplikasi yang sesuai dengan standar pengembangan suatu aplikasi, beberapa pegawai Direktorat Transformasi Perbendaharaan diberikan pelatihan System Analysis and Design menggunakan Unified Modelling Language - UML, pelatihan pemrograman berbasis Java, dan pelatihan keamanan informasi. Sebagai informasi, UML adalah bahasa spesifikasi standar untuk mendokumentasikan, menspesifikasikan, dan membangun sistem perangkat lunak. Di samping itu, pada tahapan desain aplikasi ini juga dilakukan workshop dengan mengundang ahlinya untuk membuat suatu desain aplikasi berupa UML aplikasi SAKTI. Dengan terpilihnya metode pengembangan aplikasi, Tim Penyempurnaan Aplikasi Satker tinggal melakukan eksekusi pembangunan aplikasi. Langkah terakhir dari tahapan desain aplikasi ini adalah berupa pemilihan konsultan pengembang aplikasi.
(4) Pengembangan Aplikasi (April 2011 sd November 2011)
Sesuai dengan hasil pada tahap studi kelayakan, pengembangan SAKTI dilakukan secara outsourcing oleh pihak ke-3. Melalui proses lelang,  PT Quadra Solution memenangkan kontrak pengembangan SAKTI. Dalam pelaksanaan tugasnya, PT Quadra Solution menggunakan metode iterasi. Dengan metode ini, pelaksanaan semua tahapan-tahapan pengembangan aplikasi dilakukan secara bersamaan dan berulang-ulang sampai didapatkan hasil yang diinginkan. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan yang masih mungkin terjadi selama masa pengembangan sehingga mudah untuk dilakukan perubahan. Sesuai dengan kontrak, SAKTI diharapkan selesai pada tahun 2011 ini juga, sehingga pada tahun 2012 sudah bisa dipakai untuk penyusunan RKAKL tahun anggaran 2013.
(5) Pelaksanaan (April 2012)
Sesuai dengan siklus APBN, SAKTI akan mulai digunakan pada tahun anggaran 2012 untuk proses penyusunan RKAKL untuk APBN 2013 yang dimulai pada bulan April 2012. Sedangkan pada tahun anggaran 2013, diharapkan semua modul dalam aplikasi SAKTI sudah bisa dipakai untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pelaporan keuangan dan asetnya.

Sumber : www.span.depkeu.go.id

Apa itu SPAN ?

Tuntutan masyarakat akan pengelolaan anggaran negara yang transparan, akuntabel, terintegrasi, dan berbasis kinerja merupakan faktor pendorong bagi pemerintah untuk melaksanakan reformasi selain kebutuhan internal pemerintah sendiri. Sebagai pioner, Departemen Keuangan telah memulai proses reformasi sejak tahun 2004. Perubahan yang dilaksanakan mencakup aspek penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia.
Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) sebagai suatu sistem berbasis teknologi informasi ditujukan untuk mendukung pencapaian prinsip-prinsip pengelolaan anggaran tersebut. Seluruh proses yang terkait dengan pengelolaan anggaran yang meliputi penyusunan anggaran, manajemen dokumen anggaran, manajemen komitmen pengadaan barang dan jasa, manajemen pembayaran, manajemen penerimaan negara, manajemen kas dan pelaporan diintegrasikan ke dalam SPAN.
Perubahan yang paling mendasar yang diusung SPAN adalah otomasi proses bisnis yang dijalankan di Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan. Proses-proses yang sifatnya pengulangan (repetition) yang selama ini dilaksanakan secara manual akan diotomasi oleh sistem. Perubahan lainnya lainnya adalah:
  • penggunaan database tunggal yang sebelumnya berdiri sendiri-sendiri baik di tingkat pusat, unit vertikal maupun satuan kerja
  • perekaman data sekali yang sebelumnya dilaksanakan di setiap unit yang terkait, dan
  • pembakuan business rules untuk semua proses serta analisis.

Perubahan yang signifikan tersebut menuntut perbaikan pada proses bisnis yang dijalankan dan perubahan pola pikir para pihak yang terlibat pada proses bisnis tersebut, baik pengguna langsung dari Departemen Keuangan (internal), maupun dari kementerian/lembaga (eksternal).
Pembangunan dan implementasi SPAN melibatkan banyak pihak baik lingkungan internal Departemen Keuangan maupun pihak eksternal seperti kementerian lembaga, Bank Indonesia dan perbankan umum. Mengingat luasnya cakupan SPAN dan banyaknya pihak-pihak yang terlibat, dibutuhkan kesepahaman dan dukungan yang kuat dari seluruh stakeholders.
APLIKASI

Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN) adalah sebuah sistem yang dirancang dengan mengintegrasikan proses penganggaran, pelaksanaan dan pelaporan keuangan Negara sehingga diperoleh laporan keuangan akurat yang melalui proses akuntabel dan transparan. SPAN direncanakan akan menggantikan seluruh sistem yang digunakan untuk mendukung pengelolaan Keuangan Negara dalam lingkup Ditjen Perbendaharaan dan Ditjen Anggaran. Namun demikian, Satker yang terkait erat dengan proses pengelolaan keuangan tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup pekerjaan pengembangan SPAN. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan SPAN, penyederhanaan proses dan pengembangan Sistem Aplikasi Satker menjadi begitu penting.
Untuk mendukung aktifitas pengelolaan keuangan di Satker, Ditjen Perbendaharaan mengeluarkan 7 system aplikasi yaitu Aplikasi DIPA, Aplikasi SPM, Aplikasi Gaji, Aplikasi SAK, Aplikasi Peran, Aplikasi SIMAKBMN dan Aplikasi Persediaan. Aplikasi tersebut dibangun dengan arsitektur terpisah (independent) tetapi saling terkait (dependent) antara satu aplikasi dengan lainnya, seperti output dari sebuah system aplikasi menjadi inputan dari system aplikasi lainnya.

Setelah dilakukan analisa terhadap Sistem Aplikasi perbendaharaan Satker yang ada saat ini, seluruh aplikasi yang ada dibangun dengan menggunakan bahasa pemrograman Foxpro. Untuk database, system aplikasi tersebut menggunakan dua platform yang berbeda yaitu MySql dan Foxpro. Selanjutnya dari  analisa yang telah dilakukan ditemukan bahwa terdapat beberapa duplikasi fungsi sejenis seperti fungsi Rekam Ubah Hapus (RUH) untuk data yang sama pada aplikasi yang berbeda, contoh : fungsi RUH untuk data DIPA yang seharusnya hanya terdapat pada Aplikasi DIPA pada kenyataannya fungsi ini juga terdapat pada aplikasi SPM dan aplikasi SAKPA.
 
Lebih lanjut, system yang ada tidak dilengkapi dengan fungsi audit trail dan tidak terdapat mekanisme cross validation antara sistem-sistem tersebut. Sebagai contoh apabila perubahan dilakukan pada system aplikasi SPM, maka data pada Sistem Aplikasi DIPA tidak akan terupdate. Implikasi dari kondisi ini adalah dimungkin terjadi perbedaan (discrepancy) data antara satu aplikasi dengan lainnya dan manipulasi data dapat dilakukan untuk kepentingan tertentu yang bersifat jangka pendek.

Untuk menghasilkan laporan keuangan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan harus diawali dengan pembenahan laporan keuangan pada tingkat satker. Hal tersebut dapat diperoleh dengan melakukan penyempurnaan terhadap Sistem Aplikasi Satker yang ada. Selain akan meningkatkan tingkat validitas data yang dihasilkan, keberadaan system aplikasi satker yang disempurnakan akan mendorong keberhasilan SPAN yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan Negara di Satker dan Kementerian Keuangan sebagaimana diamanahkan dalam paket Undang-Undang Keuangan Negara.
Sumber : www.span.depkeu.go.id