Jakarta - Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengakui
kebocoran biaya perjalanan dinas mencapai 30%-40%. Pemerintah meminta
seluruh Kementerian Lembaga (K/L) melakukan pengawasan lebih ketat.
"Perjalanan
dinas yang mungkin, bocor pada kisaran 30%-40%," kata Agus dalam
sambutan acara pelantikan eselon II di Kemenkeu, Lapangan Banteng,
Jakarta, Jumat (25/5/2012).
Agus menerangkan modus operandi
dilakukan PNS nakal mengakali biaya perjalanan dinas, yakni pengurusan
visa. Untuk itu Agus meminta pengawasan lebih ketat.
Jumat, 25 Mei 2012
Usulan Gaji Rp 2 Juta/Bulan Bebas Pajak Segera Dibawa ke DPR
Jakarta - Pemerintah akan segera membahas kenaikan
Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp 24 juta/tahun (Rp 2
juta/bulan) dari Rp 15,84 juta/tahun dengan DPR.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, pada masa sidang DPR saat ini, usulan kenaikan PTKP akan segera dibahas.
"PTKP termasuk yang akan dibahas, kita mengarah ke Rp 24 juta," ujar Agus saat ditemui di kantornya, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Senin (21/5/2012).
Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, pada masa sidang DPR saat ini, usulan kenaikan PTKP akan segera dibahas.
"PTKP termasuk yang akan dibahas, kita mengarah ke Rp 24 juta," ujar Agus saat ditemui di kantornya, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Senin (21/5/2012).
Pemerintah Jalankan Program Pensiun Dini PNS Tahun Ini
Jakarta - Rencana program pensiun dini yang
didengungkan Kementerian Keuangan dari tahun lalu, rupanya masih
terganjal belum adanya landasan hukum yang diberikan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB).
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin di kantornya, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Jumat 25/5/2012.
"Masih dalam proses finalisasi dasar hukumnya, kalau dasar hukumnya sudah keluar, maka akan kita laksanakan," ujarnya.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin di kantornya, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Jumat 25/5/2012.
"Masih dalam proses finalisasi dasar hukumnya, kalau dasar hukumnya sudah keluar, maka akan kita laksanakan," ujarnya.
PPh PASAL 21/26 : TARIF DAN CARA PENGHITUNGAN PPh PASAL 21/26
Tarif
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:
Kamis, 24 Mei 2012
PPh PASAL 21/26 : Pengertian, Pemotong, Penghasilan yang Dipotong dan Tidak Dipotong, Serta Pengurangan yang Diperbolehkan
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dengan nama dan bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri.
Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah Pajak Penghasilan atas deviden, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya, yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
Selasa, 22 Mei 2012
Rabu, 16 Mei 2012
Pemanggilan Peserta Kelas Reguler PPAKP Gelombang I Tahun 2012
Pemanggilan Peserta Kelas Reguler PPAKP Gelombang I (termasuk wilayah Gorontalo) Tahun 2012 dapat diunduh di sini
Jumat, 11 Mei 2012
PENENTUAN TANGGAL POSTING DALAM KAITAN PERIODE TUTUP BUKU PADA APLIKASI SAKTI
I
Salah
satu azas dalam laporan keuangan adalah konsistensi dimana laporan
keuangan pada suatu periode lalu yang pernah kita sajikan apabila
disajikan kembali pada periode selanjutnya tidak akan berubah. Aplikasi
legacy belum melakukan validasi atas perilaku user yang merubah
transaksi yang lalu. Padahal transaksi tersebut pernah dilaporkan
sebelumnya sehingga laporan keuangan yang lalu apabila dilaporkan
kembali pada saat sekarang akan menghasilkan laporan yang berbeda dengan
waktu itu. Pengembangan Aplikasi SAKTI melakukan validasi atas kondisi
diatas dengan menggunakan mekanisme Posting dan periode tutup buku atau
closing date.
Tutup buku akan menjadi parameter
penentuan tanggal posting atas semua transaksi yang terjadi pada
modul-modul lain dalam Aplikasi SAKTI. Sedangkan mekanisme posting akan
menjadi parameter untuk menentukan mekanisme koreksi pada modul Aplikasi
SAKTI yang lain. Tutup buku dilakukan setiap bulan dan ada dua jenis
yaitu:
1. Tutup buku sementara
Tutup
buku sementara dilakukan pada saat Modul GL dan Pelaporan melakukan
pengiriman ADK untuk rekonsiliasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga
konsistensi bahwa pada masa rekonsiliasi tidak ada transaksi lain yang
masuk dari modul-modul lain Aplikasi SAKTI pada periode ADK yang
dilakukan rekon. Tutup buku sementara bisa dilakukan pembatalan tutup
buku dengan pertimbangan apabila saat rekonsiliasi terdapat selisih
sehingga ada transaksi yang harus di perbaiki maka sistem masih
memungkinkan memasukkan kesalahan transaksi kedalam periode sebelumnya.
2. Tutup buku permanen
Ada dua jenis tutup buku permanen, yaitu:
a. Tutup Buku Permanen Manual
Tutup
buku permanen manual dilakukan dengan menekan tombol proses tutup buku
permanen manual dengan asumsi bahwa rekonsiliasi telah final dan berita
acara rekonsiliasi sudah di upload kedalam SAKTI. Tutup buku ini tidak
bisa dilakukan apabila tanggal sistem belum menunjukkan akhir bulan atau
belum mendapatkan informasi close dari modul lainnya.
b. Tutup Buku Permanen Otomatis
Tutup
buku ini dilakukan oleh sistem guna melakukan tutup buku apabila sistem
belum melakukan tutup buku manual sampai batas akhir closing date pada
periode tertentu. Hal ini terjadi ketika sysdate atau tanggal sistem
server telah menunjukkan tanggal sesuai tabel closing date yang ada
dalam sistem walaupun belum ada informasi close dari modul lainnya.
Secara
umum, untuk semua transaksi dari modul-modul Aplikasi SAKTI, minimal
data akan mempunyai tiga tanggal yaitu tangal sistem, tanggal buku, dan
tanggal posting. Berikut adalah istilah-istilah yang akan digunakan
sebagai gambaran dalam menentukan tanggal posting dari suatu transaksi:
- Tanggal Dokumen, selanjutnya ditulis TgBuku adalah tanggal sesuai tanggal yang diinputkan manual kedalam sistem (biasanya tanggal dokumen).
- Tanggal System, selanjutnya ditulis Tgsystem adalah tanggal server ketika data dilakukan koreksi.
- Tanggal Posting, selanjutnya ditulis TgPost adalah tanggal yang di-generate oleh aplikasi berdasarkan case-case yang ada yang akan digunakan sebagai acuan tanggal (periode) dalam menyusun laporan keuangan.
- Tanggal closed, selanjutnya ditulis TgClosed adalah tanggal yang telah ditentukan oleh referensi pada setiap bulannya untuk menentukan batas akhir koreksi transaksi pada periode sebelumnya.
- Kondisi Post adalah kondisi COA yang sudah dilakukan posting sehingga terbentuk Trial Balance.
- Kondisi Unpost adalah kondisi COA yang belum dilakukan posting.
- Kondisi Close adalah kondisi Trial Balance yang sudah dilakukan tutup buku sehingga terbentuk saldo awal.
- Kondisi Unclosed adalah kondisi Trial Balance yang belum dilakukan tutup buku.
- Soft Delete adalah suatu kondisi data dalam database dimana terhapus tetapi data tidak dihapus secara permanen sehingga saat dibutuhkan pada tracing COA ke transaksi dapat dipanggil kembali.
10. Contoh Kasus :

Berikut adalah tabel kemungkinan kondisi dan penentuan tanggal posting-nya:
Asumsi transaksi sudah dilakukan posting

Berikut adalah tabel kemungkinan kondisi dan penentuan tanggal posting-nya:
Asumsi transaksi sudah dilakukan posting
Penjelasan Case :
1. CASE I
Tahun dari tanggal buku sama dengan tahun pada tanggal sistem dan bulan dari tanggal buku sama dengan bulan dari tanggal sistem.
a. Tanggal buku sama dengan tanggal sistem
Transaksi
diinputkan dengan tanggal buku 03-Maret-2013 dan tanggal sistem server
menunjukkan tanggal 03-Maret-2013 dan periode pada tanggal tersebut
belum closed maka tanggal posting dari transaksi tersebut akan diberikan
tanggal 03-Maret-2013
b. Tanggal buku lebih kecil dari tanggal sistem
Transaksi
diinputkan dengan tanggal buku 03-Maret-2013 dan tanggal sistem server
menunjukkan tanggal 05-Maret-2013 dan periode pada tanggal tersebut
belum closed maka tanggal posting dari transaksi tersebut akan diberikan
tanggal 05-Maret-2013
2. CASE II
Tahun
dari tanggal buku sama dengan tahun pada tanggal sistem dan bulan dari
tanggal buku tidak sama dengan bulan dari tanggal sistem.
a. Tanggal buku lebih kecil dari tanggal sistem dan periode pada tanggal tersebut belum closed
Transaksi
diinputkan dengan tanggal buku 23-Maret-2013 dan tanggal sistem server
menunjukkan tanggal 03-April-2013 maka tanggal posting dari transaksi
tersebut akan diberikan tanggal 31-Maret-2013
b. Tanggal buku lebih kecil dari tanggal sistem dan periode pada tanggal tersebut sudah closed
Transaksi
diinputkan dengan tanggal buku 23-Maret-2013 dan tanggal sistem server
menunjukkan tanggal 16-April-2013 maka tanggal posting dari transaksi
tersebut akan diberikan tanggal 16-April-2013
3. CASE III
Tahun dari tanggal buku tidak sama dengan tahun pada tanggal sistem
a. Tanggal buku lebih kecil dari tanggal sistem dan periode pada tanggal tersebut belum closed
Transaksi
diinputkan dengan tanggal buku 23-Maret-2013 dan tanggal sistem server
menunjukkan tanggal 03-April-2014 maka tanggal posting dari transaksi
tersebut akan diberikan tanggal 31-Desember-2013
b. Tanggal buku lebih kecil dari tanggal sistem dan periode pada tanggal tersebut sudah closed
Transaksi
diinputkan dengan tanggal buku 23-Maret-2013 dan tanggal sistem server
menunjukkan tanggal 16-April-2014 maka tanggal posting dari transaksi
tersebut akan diberikan tanggal 16-April-2014
Penulis: Faried Zamachsari (Pranata Komputer pada DTP)
Seumber : http://www.span.depkeu.go.id
Kamis, 03 Mei 2012
Gaji Hakim dan Gaji PNS
Artikel oleh Arsil, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP)
Saat ini para hakim sedang meradang,
pasalnya sejak tahun 2008 gaji pokok mereka tidak pernah mendapatkan
kenaikan, di sisi lain gaji Pokok PNS, TNI dan Polri sejak tahun yang
sama telah mengalami kenaikan sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 2010,
2011 dan 2012 ini. Tidak adanya kenaikan gaji pokok hakim tersebut
membuat akhirnya gaji pokok PNS, TNI dan Polri menjadi lebih tinggi dari
gaji pokok hakim. Sesuatu yang sangat janggal.
Para hakim sejak dua tahun yang lalu
mulai menyusun gerakan untuk menuntut kenaikan gaji mereka, berbagai
upaya telah mereka lakukan hingga ancaman untuk melakukan mogok sidang.
Mengenai hal ini mungkin akan saya tulis dalam tulisan terpisah, karena
kali ini saya hanya akan menanggapi pernyataan Dirjen Anggaran
Kementrian Keuangan di berita ini: “Kemenkeu: Kenaikan Gaji Hakim Mengikuti PNS“.
Dalam berita tersebut intinya Dirjen Anggaran merasa bahwa gaji hakim
telah naik, karena hakim adalah PNS (juga), sehingga jika gaji PNS
dinaikan otomatis gaji hakim juga ikut mengalami kenaikan.
Betul bahwa hingga saat ini secara riil
hakim memang masih PNS (juga). Dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang terbaru
(48 Tahun 2009) memang telah disebutkan bahwa hakim adalah pejabat
negara, namun secara riil mereka masih tetap menyandang status PNS.
Masalah kejelasan status ini memang masalah yang memiliki kerumitan
tersendiri, tapi untuk sementara saya akan kesampingkan perdebatan
mengenai hal ini. Bagaimana saya bisa menyatakan hakim masih PNS? Cek
saja apakah mereka punya Nomor Induk Kepegawaian atau tidak, apakah
mereka punya jenjang kepangkatan, golongan dan ruang atau tidak, dan
apakah pada saat seleksi mereka menyandang status sebagai Calon PNS juga
atau tidak. Jawabannya hingga saat ini iya.
Ok, jadi kembali ke pertanyaan awal,
apakah Hakim saat ini masih berstatus (juga) juga sebagai PNS?
Jawabannya ya. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah jika gaji PNS naik
maka gaji hakim yang juga merupakan PNS tersebut otomatis akan mengalami
kenaikan juga sebagaimana dimaksud oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu di
atas? Tidak. Mengapa?
Sebelum tahun 1994 gaji hakim memang mengikuti gaji PNS; di atur dalam peraturan yang sama, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam skema UU 8/74 tersebut Pegawai Negeri dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Pegawai Negeri Sipil dan Angkatan Bersenjata (ABRI). PP 7/1977 tersebut berlaku untuk seluruh PNS, sementara khusus untuk PNS non sipil, seperti anggota ABRI (dan Polri, karena Polri pada saat itu merupakan bagian dari ABRI) diatur dalam PP tersendiri, yaitu PP Nomor 18 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sejak tahun 1977 tersebut perubahan-perubahan (kenaikan) gaji PNS dilakukan dengan mengubah PP 7/1977 tersebut, khususnya pada bagian lampirannya, oleh karena besaran jumlah gaji terdapat di dalam lampiran PP tersebut. Begitu juga dengan kenaikan gaji anggota ABRI.
Skema tersebut berlaku hingga tahun 1994. Pada tahun 1994 oleh karena dipandang hakim merupakan profesi yang khusus, yang tidak dapat dipersamakan dengan PNS biasa, pemerintah kemudian mengeluarkan hakim dari skema PP 7/1977 tersebut dan diatur dalam PP tersendiri, yaitu PP Nomor 33 Tahun 1994 tentang Peraturan Gaji Hakim. PP ini kemudian diganti dengan PP Nomor 8 Tahun 2000 tentang Peraturan Gaji Hakim Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama.
Baik PP 33 Tahun 1994 maupun PP 8 Tahun 2000 sebenarnya secara sistem tetap menggunakan sistem yang sama dalam mengatur rentang gaji hakim, yaitu berdasarkan pangkat, golongan dan ruang serta masa kerja, yang membedakan hanyalah besaran dari masing-masing pangkat, golongan dan ruang antara gaji hakim dan gaji PNS, dimana besaran jumlah gaji pokok hakim untuk masa kerja, pangkat, golongan dan ruang yang sama dengan PNS lebih besar dibanding PNS.
Dengan adanya PP yang berbeda yang mengatur antara gaji hakim dan gaji PNS maka untuk menaikan gaji hakim pemerintah harus menerbitkan perubahan atas PP Nomor 8 Tahun 2000 tersebut, sementara untuk menaikan gaji PNS biasa pemerintah harus menerbitkan PP perubahan atas PP No. 7 Tahun 1977. Dengan kata lain, jika pemerintah hanya menerbitkan PP perubahan atas PP Nomor 7 Tahun 1977 maka perubahan (kenaikan gaji) tersebut tidak akan dinikmati oleh para hakim, hanya PNS non hakim yang ada di pengadilan dan Mahkamah Agung. Dan hal ini yang terjadi sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 ini, dimana pemerintah ternyata hanya merevisi PP Nomor 7 Tahun 1977 namun tidak merevisi PP Nomor 8 Tahun 2000, sehingga pendapat Dirjen Anggaran Kemenkeu dalam berita di atas sama sekali tidak tepat.
Gaji Hakim Peradilan Militer
Apakah seluruh hakim tidak mengalami kenaikan? Tidak juga. Seperti terlihat dari PP Nomor 8 Tahun 2000 hakim yang dimaksud hanyalah hakim pada 3 lingkungan peradilan dari 4 lingkungan peradilan yang ada, yaitu hanya Peradilan Umum, Tata Usaha Negara dan Agama, sementara khusus untuk gaji hakim Peradilan Militer tidak tunduk pada PP 8 Tahun 2000 tersebut. Lalu dimana peraturan gaji hakim militer?
Hakim militer sebenarnya tidak memiliki peraturan pemerintah yang khusus. Gaji hakim militer hingga saat ini masih mengikuti gaji bagi TNI, yaitu PP Nomor 28 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota TNI. Mengapa demikian? Karena memang hingga saat ini status Hakim Militer masih merupakan anggota TNI, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Mengenai masalah status hakim militer ini lebih rumit dari ketidakjelasan status hakim non militer, terlebih jika dikaitkan dengan sistem satu atap, sistem dimana seluruh kewenangan administrasi, kepegawaian, keuangan dan organisasi peradilan yang dulunya berada di pemerintah dialihkan ke Mahkamah Agung. Jika urusan, misalnya kepangkatan, hakim pada peradilan umum, tata usaha negara, dan agama diserahkan sepenuhnya pada Mahkamah Agung maka MA bisa saja tinggal mengelolanya, walaupun segala peraturan terkait masalah tersebut masih berada di pemerintah. Namun hal itu tidak mudah jika terkait hakim peradilan militer. Dalam UU 31/1997 disebutkan untuk menduduki jabatan hakim level tertentu harus memenuhi jenjang kepangkatan militer setingkat x, entah kapten atau kolonel dst. Dengan adanya syarat kepangkatan militer yang sejatinya memang urusan TNI, tentu MA tidak bisa mempromosikan seorang hakim militer dari jabatan x ke jabatan y, karena MA tidak bisa menaikan kepangkatan militernya.
Terkait masalah gaji, mengingat kenaikan gaji PNS juga diikuti dengan PP kenaikan gaji TNI dan juga Polri, maka khusus untuk hakim militer mereka menikmati kenaikan gaji tersebut. Jadi diantara hakim, terdapat hakim yang menikmati kenaikan gaji dan ada yang tidak.
Sumber : artikel pribadi
Langganan:
Postingan (Atom)